JAKARTA | Pasca jatuhnya rezim Orde Baru dibawah Soeharto menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang pers, ditandai dengan lahirnya Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999. Sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menteri Penerangan No. 47 tahun 1975 tentang pengakuan Pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru. Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut pada tahun 1999.
Salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dipertahankan hingga kini adalah peringatan Hari Pers Nasional (HPN), meski rujukannya sudah tak ada lagi. HPN menggunakan rujukan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya Undang-undang No. 21 Tahun 1982. Namun, Undang-undang tersebut juga sudah tak berlaku lagi setelah lahirnya Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999.
Perkembangan itulah yang memicu lahirnya ide untuk merevisi Hari Pers Nasional. Selain karena memakai hari kelahiran satu organisasi wartawan, pelaksanaannya juga tak banyak berubah dari pelaksanaan semasa Orde Baru. Antara lain, pelaksanaannya memakan dana APBN dan APBD cukup besar.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pun mengeluarkan pernyataan sikap bersama terkait Hari Pers Nasional, yang dari tahun ke tahun selalu menuai kontroversi.
Tema dan kegiatan yang dipilih juga seringkali tidak menjawab masalah pers kontemporer. Dalam HPN yang digelar 9 Februari 2018 di Sumatera Barat misalnya, mengangkat tema soal wisata, yaitu “Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan.”
“Masih banyak agenda mendesak bidang pers yang lebih perlu dibahas. Antara lain, kebebasan pers yang masih dalam ancaman, profesionalisme media yang masih dinilai memprihatinkan, dan kesejahteraan pekerja media yang masih jauh dari harapan,” kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan, Jum’at (9/2/2018).
Melihat perkembangan pelaksanaan HPN saat ini, AJI dan IJTI meminta Dewan Pers sebagai payung bagi organisasi komunitas pers untuk segera membahas revisi tanggal HPN seperti yang diajukan AJI dan IJTI.
“Perubahan tanggal itu diharapkan tidak hanya membuat HPN bisa diperingati oleh lebih banyak komunitas pers, tapi juga untuk mengubah tradisi pelaksanaannya selama ini. Harapannya, perubahan tanggal itu akan membuat pelaksanaannya lebih memberi manfaat untuk publik dan juga komunitas pers,” tambah Ketua Umum IJTI, Hendriana Yadi.
Selain itu, AJI dan IJTI Meminta Presiden mencabut Keppres No. 5 tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Selain karena ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, dasar hukum dari Keppres itu sudah tidak berlaku lagi.